Oei Hui lan adalah putri dari sang raja gula Asia tenggara era 1900-an yang berjaya menobatkan dirinya sebagai orang paling kaya di Asia tenggara Oei Tiong Ham asal Semarang. Hui lan adalah putri kedua dari pernikahan pertama raja gula tersebut dengan istri pertama di antara 50 gundik atau istri tak sah. Kisah perjalanan hidupnya begitu menyentuh bak bagaikan telonevela.
Ia berkisah tentang kehidupan semasa kecilnya dalam buku “ tak ada pesta yang tak berakhir”, menikah dengan kaum jetset tak membuat dirinya merasa bahagia, bahkan di akhir hidupnya ia yang anti berpoligami harus menerima kenyataan sang suami menikah lagi dengan gundiknya. Hui Lan dalam bukunya bercerita tentang dia mendapatkan apapun yang ia inginkan karena kekayaan yang dimiliki Ayahnya.
Dan tidaklah lucu ketika suatu ketika ia berjalan dan orang asing baginya muncul mengaku kalau dia adalah adik tirinya. Tidak aneh bila sang ayah memiliki 50 gundik yang melahirkan minimal 7 orang anak. Sehingga hubungan antarkeluarga itu memunculkan konflik. Sang Ayah yang terdesak oleh pemerintah Hindia Belanda akhirnya memutuskan untuk melarikan diri ke Singapore dan menjalankan bisnisnya di sana.
Nasib sang Ayah begitu tragis. Hui Lan sempat tak percaya ketika ia melihat ayahnya begitu berubah . Ayahnya yang glamour, di masa tuanya menjadi orang yang sederhana karena pengaruh daripada istri terakhirnya bernama Lucy Ho. Konon Hui Lan sempat meragukan kematian sang Ayah yang secara mendadak karena serangan jantung. Ia curiga Ayahnya diracunin oleh Lucy Ho untuk merebut harta warisannya. Memang harta tersebut akhirnya jatuh pada Lucy Ho. Nasib Lucy Ho sendiri cukup tragis mati karena sebuah kanker otak. Hui Lan pun sadar kehidupan mewah dari sang Ayah mulai berakhir. Namun harta sudah tak menjadi arti lagi baginya.
Wellington Koo sang suami adalah tokoh revolusi Republik Rakyat Cina yang menjabat sebagai duta besar di Amerika Serikat. Pernikahan mereka tidaklah bahagia dengan melahirkan 3 orang putra. Menurut Hui Lan, sang suami lebih mencintai negaranya daripada dia dan anak anaknya. Di masa tua Hui Lan hidup seorang diri bersama anjing-anjingnya dan anak tirinya dari sang suami yang begitu setia.
Bukunya mengajarkan kita sebuah arti kehidupan.
“Kini saya berpendapat, berkenalan dengan kaum ningrat dan orang berduit tidaklah penting. Otak dan kepribadian lebih penting. Kita bisa menderita akibat haus kekuasaan, tetapi kita bisa mendapat kesenangan dari sikap hormat, kesederhanaan dan sifat lurus. Kita seharusnya menghargai orang orang lain dan hidup ini. Seperti kata ibu, kita harus puas dengan yang kita miliki. Banyak teman baik saya pun sudah meninggal, tetapi saya banyak mendapat teman baru yang masih muda. Saya sering mengenang anjing-anjing saya yang sudah mati, yang memberi saya cinta kasih dan kebahagiaan pada tahun tahun terakhir. Saya harap suatu waktu kelak mereka akan dilahirkan lagi. Kalau demikan halnya, saya yakin kami akan saling mengenali,”ujar Hui Lan dalam bukunya.
Hui lan sendiri telah meninggal pada tahun 1992. Hingga kini nama sang Ayah menjadi jalan di sebuah tempat di Singapura. Peninggalan rumah serta warisannya di Semarang masih ada namun tak terawat. Kekayaan sang Ayah ketika ia meninggal menjadi dilema di antara konflik keluarga yang berakhir dengan diambil alih oleh Presiden berkuasa saat itu Soerkarno, yang memang anti Barat terlebih kebanyakan usaha milik Ayahnya bekerjasama dengan pihak asing.
Sebuah sejarah telah mengajarkan kita betapa hidup bukanlah harta yang kita miliki, namun kasih sayang dan kebahagiaan adalah harta yang paling sempurna bagi hidup kita.
(Sumber: Intisari dalam Pelangi Cina Indonesia) - Terima Kasih kepada Agnas Dabonar
Ia berkisah tentang kehidupan semasa kecilnya dalam buku “ tak ada pesta yang tak berakhir”, menikah dengan kaum jetset tak membuat dirinya merasa bahagia, bahkan di akhir hidupnya ia yang anti berpoligami harus menerima kenyataan sang suami menikah lagi dengan gundiknya. Hui Lan dalam bukunya bercerita tentang dia mendapatkan apapun yang ia inginkan karena kekayaan yang dimiliki Ayahnya.
Dan tidaklah lucu ketika suatu ketika ia berjalan dan orang asing baginya muncul mengaku kalau dia adalah adik tirinya. Tidak aneh bila sang ayah memiliki 50 gundik yang melahirkan minimal 7 orang anak. Sehingga hubungan antarkeluarga itu memunculkan konflik. Sang Ayah yang terdesak oleh pemerintah Hindia Belanda akhirnya memutuskan untuk melarikan diri ke Singapore dan menjalankan bisnisnya di sana.
Nasib sang Ayah begitu tragis. Hui Lan sempat tak percaya ketika ia melihat ayahnya begitu berubah . Ayahnya yang glamour, di masa tuanya menjadi orang yang sederhana karena pengaruh daripada istri terakhirnya bernama Lucy Ho. Konon Hui Lan sempat meragukan kematian sang Ayah yang secara mendadak karena serangan jantung. Ia curiga Ayahnya diracunin oleh Lucy Ho untuk merebut harta warisannya. Memang harta tersebut akhirnya jatuh pada Lucy Ho. Nasib Lucy Ho sendiri cukup tragis mati karena sebuah kanker otak. Hui Lan pun sadar kehidupan mewah dari sang Ayah mulai berakhir. Namun harta sudah tak menjadi arti lagi baginya.
Wellington Koo sang suami adalah tokoh revolusi Republik Rakyat Cina yang menjabat sebagai duta besar di Amerika Serikat. Pernikahan mereka tidaklah bahagia dengan melahirkan 3 orang putra. Menurut Hui Lan, sang suami lebih mencintai negaranya daripada dia dan anak anaknya. Di masa tua Hui Lan hidup seorang diri bersama anjing-anjingnya dan anak tirinya dari sang suami yang begitu setia.
Bukunya mengajarkan kita sebuah arti kehidupan.
“Kini saya berpendapat, berkenalan dengan kaum ningrat dan orang berduit tidaklah penting. Otak dan kepribadian lebih penting. Kita bisa menderita akibat haus kekuasaan, tetapi kita bisa mendapat kesenangan dari sikap hormat, kesederhanaan dan sifat lurus. Kita seharusnya menghargai orang orang lain dan hidup ini. Seperti kata ibu, kita harus puas dengan yang kita miliki. Banyak teman baik saya pun sudah meninggal, tetapi saya banyak mendapat teman baru yang masih muda. Saya sering mengenang anjing-anjing saya yang sudah mati, yang memberi saya cinta kasih dan kebahagiaan pada tahun tahun terakhir. Saya harap suatu waktu kelak mereka akan dilahirkan lagi. Kalau demikan halnya, saya yakin kami akan saling mengenali,”ujar Hui Lan dalam bukunya.
Hui lan sendiri telah meninggal pada tahun 1992. Hingga kini nama sang Ayah menjadi jalan di sebuah tempat di Singapura. Peninggalan rumah serta warisannya di Semarang masih ada namun tak terawat. Kekayaan sang Ayah ketika ia meninggal menjadi dilema di antara konflik keluarga yang berakhir dengan diambil alih oleh Presiden berkuasa saat itu Soerkarno, yang memang anti Barat terlebih kebanyakan usaha milik Ayahnya bekerjasama dengan pihak asing.
Sebuah sejarah telah mengajarkan kita betapa hidup bukanlah harta yang kita miliki, namun kasih sayang dan kebahagiaan adalah harta yang paling sempurna bagi hidup kita.
(Sumber: Intisari dalam Pelangi Cina Indonesia) - Terima Kasih kepada Agnas Dabonar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar